Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Pengertian Kalam Secara Rinci dalam Ilmu Nahwu

Daftar Isi

Pengertian Kalam Secara Rinci dalam Ilmu Nahwu

Selaku santri tentu tak asing lagi bagi kita dengan sebutan kalam, baik dalam ilmu nahwu, fikih, tauhid dan lain-lain yang tentunya memiliki pengertian dan maknanya tersendiri.

Dalam ilmu nahwu, kalam memiliki peran yang sangat penting. Bagaimana tidak? hampir setiap kitab maupun buku yang membahas ilmu nahwu diawali dengan pembahasan kalam.

Lalu, bagaimanakah maksud kalam menurut ulama nahwu? untuk mengetahuinya, kita harus melihat apa definisi kalam.

Definisi Kalam

Jika kita lihat dari berbagai literatur, tentu kita akan menemukan perbedaan para ulama dalam mendefinisikannya. Namun, jika kita telusuri lebih dalam, perbedaan ini hanyalah pada ungkapan.

Yakni, walaupun dengan ungkapan yang berbeda, tetapi memiliki makna yang sama. 

Di antaranya terdapat di dalam kitab Matan al-Ajurumiyah:

الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع

Artinya: “Kalam ialah lafaz yang tersusun lagi memberi faidah dengan wadha’.”

Definisi di atas mengungkapkan bahwa keberadaan kalam menurut ulama nahwu dibenarkan dengan susunan lafazh yang memberi faidah dengan wadha’.

Yakni, jika satu saja tidak terpenuhi, perkataan tersebut tidak digolongkan kepada kalam menurut ulama nahwu.

Pengertian Lafaz

Lalu apa yang dimaksudkan dengan lafaz di sini? Dalam kitab Mukhtashar Jiddan, lafaz didefinisikan dengan:

هو الصوت المشتمل على بعض الحروف الهجائية

Artinya: “lafazh adalah suara yang terkandung sebagian huruf hija`iyah”.

Definisi ini menjelaskan kepada kita bahwa suatu kata yang digolongkan kepada lafaz, harus memiliki suara dan juga terkandung sebagian huruf hija`iyah.

Hal ini dapat kita pahami bahwa suatu kata yang tidak memiliki suara, seperti simbol, tulisan dan lain-lain, tentu tidak digolongkan kepada lafaz.

Kita juga dapat memahami bahwa suara yang tidak terkandung sebagian huruf hija`iyah, seperti bahasa ajam, tidak digolongkan juga kepada lafaz.

Pengertian Murakkab

Secara zahir, sebenarnya hal ini tidak perlu dijelaskan lagi karena kalam harus berfaidah dan faidah tidak muncul dari kalimat yang satu.

Oleh karena itu,  sebagian literatur, tidak mencantumkan murakkab sebagai syarat kalam. Walaupun demikian para ulama juga manjelaskanya, salah satunya di dalam kitab Mukhtashar Jiddan, di sana murakkab didefinisikan dengan:

والمركب ما تركّب من كلمتين فأكثر

Artinya: “murakkab adalah perkataan yang tersusun dari dua kata atau lebih”.

Dari definisi ini, dapat kita pahami bahwa kalam itu minimalnya tersusun dari dua kata yang tentunya juga harus memenuhi beberapa syarat kalam yang lain.

Salah satunya memberi faidah karena tidak semua kata yang tersusun dapat memberi faidah, akan tetapi setiap perkataan yang berfaidah sudah pasti tersusun.

Pengertian Mufid

Memberi faidah atau mufid merupakan ketentuan kalam yang sangat sakral, sama halnya dengan lafaz. Kenapa tidak, ketentuan-ketentuan yang lain bisa terpenuhi dengannya, seperti murakkab yang mengharuskan kalam tersusun.

Hal ini dapat terjawab dengan adanya mufid karena kalam yang mufid, tentu tersusun dari beberapa kata. Begitu juga nantinya dengan wadha’.

Lalu apa pengertian mufid? Mari kita lihat lanjutan pembahasan yang ada di dalam Mukhtashar Jiddan.

المفيد ما أفاد فائدة يحسن السكوت عليها من المتكلم والسامع

Artinya: “mufid ialah perkataan yang dapat memberi faidah dengan sempurna sehingga dianggap bagus diamnya mutakallim (orang yang berbicara) dan sami’ (pendengar)”.

Maksud bagusnya diam dari sisi mutakallim adalah tidak melanjutkan perkataan. Sedangkan maksud diam dari sisi sami’ artinya tidak menanti-nanti keterangan tambahan mutakallim untuk menyempurnakan perkataannya.

Sebagaimana penjelasan di dalam kitab al-Kawakib al-Durriyah.

(المفيد) أي المفهم معنى يحسن السكوت المتكلم عليه بحيث لا يبقى للسامع انتظار مقيد به

Artinya: “(mufid) maksudnya memberi pemahaman pada makna yang diamnya mutakallim itu dianggap baik, sehingga sami’ tidak menanti-nanti keterangan tambahan dari mutakallim untuk menyempurnakan perkataannya.

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa perkataan yang tidak memberi faidah, seperti ungkapan dari satu kata dan lain-lain.

Pengertian Wadha’

Berdasarkan definisi di atas, wadha’ juga harus dipenuhi oleh sebuah perkataan untuk dikategorikan kepada kalam menurut ulama nahwu. walaupun pada sebagian literatur tidak mencantumkan wadha’ dalam definisi kalam, seperti al-Amrithi.

Namun hal ini telah dijawab di dalam kitab Ubadah al-Aduwi bahwa definisi tersebut mengikuti pendapat lemah yang tidak mensyaratkan wadha’ pada kalam.

Lalu bagaimana maksud wadha’ di sini? Mari kita lihat lanjutan pembahasan dalam mukhtashar jiddan.

وقوله بالوضع فسره بعضهم بالقصد فخرج غير المقصود ككلام النائم والساهي فلا يسمى كلاما عند النحاة وبعضهم فسره بالوضع العربي فخرج كلام العجم كالترك والبربر فلا يسمى كلاما عند النحاة

Artinya: “dan perkataanya dengan wadha’, sebagian ulama mengartikannya dengan unsur kesengajaan. Maka perkataan yang tidak disengaja, seperti perkataan orang yang sedang tidur dan orang yang lalai tidak dinamakan kalam menurut ulama nahwu.

Sebagian yang lain mengartikannya dengan peletakan bahasa arab. Maka perkataan dari bahasa ‘ajam seperti bangsa turki dan suku barbar tidak dinamakan kalam menurut ulama nahwu.

Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa wadha’ juga memiliki peran yang sangat penting tentang status kalam. Kenapa tidak, sebuah susunan kata bahasa arab yang berfaidah, jika tidak diucapkan dengan unsur kesengajaan maka tidak dikatagorikan kalam menurut ulama nahwu.

Sebenarnya ketentuan-ketentuan ini memiliki ikatan yang begitu erat, apalagi ketentuan murakkab, mufid dan wadha’ (dengan penafsiran sengaja), karena tiga ketentuan ini akan terpenuhi dengan mufid.

Yakni, apabila kalam tersebut dapat memberi faidah, tentu kalamnya tersusun dan diucapkan dengan unsur kesengajaan.

Berpijak pada persoalan ini, maka sangat sesuai definisi kalam yang diungkapkan oleh Ibnu Malik dengan singkat dan padat di dalam kitab Al-Fiyah-nya.

كلامنا لفظ مفيد كاستقم

Artinya: “kalam menurut ulama nahwu adalah lafaz yang memberi faidah, contohnya استقم  (istaqim)”.

Hal ini, tentu karena mengingat bahwa Al-Fiyah bukanlah kitab yang direkomendasikan untuk dipelajari oleh pemula. Seorang pemula ketika mempelajari sebuah disiplin ilmu, tentu belum mengetahui persoalan-persoalan apa saja yang dikaji dan juga belum memahami istilah-istilah dalam ilmu tersebut.

Jurumiyah sebagai kitab bagi pemula, tentu sudah selayaknya dijelaskan dengan gamblang agar mudah dipahami.

 

Wallahu A’lam bi al-Shawab...

Semoga bermanfaat...

 

Referensi:

·  Matan al-Ajurumiyah

·  Mukhtashar Jiddan

·  Kitab Al-Kawakib Al-Durriyah.

·  Al-Fiyah

·  Ubadah al-Aduwi


Posting Komentar