Pengertian Kalam Secara Rinci dalam Ilmu Nahwu
Pengertian Kalam Secara Rinci dalam Ilmu Nahwu
Selaku santri tentu tak asing lagi bagi kita dengan
sebutan kalam, baik dalam ilmu nahwu, fikih, tauhid dan lain-lain yang tentunya
memiliki pengertian dan maknanya tersendiri.
Dalam ilmu nahwu, kalam memiliki peran yang sangat
penting. Bagaimana tidak? hampir setiap kitab maupun buku yang membahas ilmu
nahwu diawali dengan pembahasan kalam.
Lalu, bagaimanakah maksud kalam menurut ulama nahwu?
untuk mengetahuinya, kita harus melihat apa definisi kalam.
Definisi Kalam
Jika kita lihat dari berbagai literatur, tentu kita akan
menemukan perbedaan para ulama dalam mendefinisikannya. Namun, jika kita telusuri
lebih dalam, perbedaan ini hanyalah pada ungkapan.
Yakni, walaupun dengan ungkapan yang berbeda, tetapi
memiliki makna yang sama.
Di antaranya terdapat di dalam kitab Matan al-Ajurumiyah:
الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع
Artinya: “Kalam ialah lafaz yang tersusun lagi memberi
faidah dengan wadha’.”
Definisi di atas mengungkapkan bahwa keberadaan kalam menurut
ulama nahwu dibenarkan dengan susunan lafazh yang memberi faidah dengan wadha’.
Yakni, jika satu saja tidak terpenuhi, perkataan tersebut
tidak digolongkan kepada kalam menurut ulama nahwu.
Pengertian Lafaz
Lalu apa yang dimaksudkan dengan lafaz di sini? Dalam
kitab Mukhtashar Jiddan, lafaz didefinisikan dengan:
هو الصوت المشتمل على بعض الحروف الهجائية
Artinya: “lafazh adalah suara yang terkandung sebagian
huruf hija`iyah”.
Definisi ini menjelaskan kepada kita bahwa suatu kata
yang digolongkan kepada lafaz, harus memiliki suara dan juga terkandung sebagian
huruf hija`iyah.
Hal ini dapat kita pahami bahwa suatu kata yang tidak
memiliki suara, seperti simbol, tulisan dan lain-lain, tentu tidak digolongkan
kepada lafaz.
Kita juga dapat memahami bahwa suara yang tidak
terkandung sebagian huruf hija`iyah, seperti bahasa ajam, tidak digolongkan
juga kepada lafaz.
Pengertian Murakkab
Secara zahir, sebenarnya hal ini tidak perlu dijelaskan
lagi karena kalam harus berfaidah dan faidah tidak muncul dari kalimat yang
satu.
Oleh karena itu, sebagian literatur, tidak mencantumkan murakkab
sebagai syarat kalam. Walaupun demikian para ulama juga manjelaskanya, salah
satunya di dalam kitab Mukhtashar Jiddan, di sana murakkab didefinisikan
dengan:
والمركب ما تركّب من كلمتين فأكثر
Artinya: “murakkab adalah perkataan yang tersusun dari
dua kata atau lebih”.
Dari definisi ini, dapat kita pahami bahwa kalam itu
minimalnya tersusun dari dua kata yang tentunya juga harus memenuhi beberapa
syarat kalam yang lain.
Salah satunya memberi faidah karena tidak semua kata yang
tersusun dapat memberi faidah, akan tetapi setiap perkataan yang berfaidah
sudah pasti tersusun.
Pengertian Mufid
Memberi faidah atau mufid merupakan ketentuan
kalam yang sangat sakral, sama halnya dengan lafaz. Kenapa tidak, ketentuan-ketentuan
yang lain bisa terpenuhi dengannya, seperti murakkab yang mengharuskan
kalam tersusun.
Hal ini dapat terjawab dengan adanya mufid karena
kalam yang mufid, tentu tersusun dari beberapa kata. Begitu juga
nantinya dengan wadha’.
Lalu apa pengertian mufid? Mari kita lihat
lanjutan pembahasan yang ada di dalam Mukhtashar Jiddan.
المفيد ما أفاد فائدة يحسن السكوت عليها من المتكلم والسامع
Artinya: “mufid ialah perkataan yang dapat memberi faidah
dengan sempurna sehingga dianggap bagus diamnya mutakallim (orang yang
berbicara) dan sami’ (pendengar)”.
Maksud bagusnya diam dari sisi mutakallim adalah
tidak melanjutkan perkataan. Sedangkan maksud diam dari sisi sami’
artinya tidak menanti-nanti keterangan tambahan mutakallim untuk
menyempurnakan perkataannya.
Sebagaimana penjelasan di dalam kitab al-Kawakib
al-Durriyah.
(المفيد)
أي المفهم معنى يحسن السكوت المتكلم عليه بحيث لا يبقى للسامع انتظار مقيد به
Artinya: “(mufid) maksudnya memberi pemahaman pada makna
yang diamnya mutakallim itu dianggap baik, sehingga sami’ tidak
menanti-nanti keterangan tambahan dari mutakallim untuk menyempurnakan
perkataannya.
Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa perkataan
yang tidak memberi faidah, seperti ungkapan dari satu kata dan lain-lain.
Pengertian Wadha’
Berdasarkan definisi di atas, wadha’ juga harus dipenuhi
oleh sebuah perkataan untuk dikategorikan kepada kalam menurut ulama nahwu.
walaupun pada sebagian literatur tidak mencantumkan wadha’ dalam definisi
kalam, seperti al-Amrithi.
Namun hal ini telah dijawab di dalam kitab Ubadah
al-Aduwi bahwa definisi tersebut mengikuti pendapat lemah yang tidak
mensyaratkan wadha’ pada kalam.
Lalu bagaimana maksud wadha’ di sini? Mari kita lihat
lanjutan pembahasan dalam mukhtashar jiddan.
وقوله بالوضع فسره بعضهم بالقصد فخرج غير المقصود ككلام النائم والساهي فلا
يسمى كلاما عند النحاة وبعضهم فسره بالوضع العربي فخرج كلام العجم كالترك والبربر
فلا يسمى كلاما عند النحاة
Artinya: “dan perkataanya dengan wadha’, sebagian ulama
mengartikannya dengan unsur kesengajaan. Maka perkataan yang tidak disengaja,
seperti perkataan orang yang sedang tidur dan orang yang lalai tidak dinamakan
kalam menurut ulama nahwu.
Sebagian yang lain mengartikannya dengan peletakan bahasa
arab. Maka perkataan dari bahasa ‘ajam seperti bangsa turki dan suku barbar tidak
dinamakan kalam menurut ulama nahwu.
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa wadha’ juga
memiliki peran yang sangat penting tentang status kalam. Kenapa tidak, sebuah
susunan kata bahasa arab yang berfaidah, jika tidak diucapkan dengan unsur
kesengajaan maka tidak dikatagorikan kalam menurut ulama nahwu.
Sebenarnya ketentuan-ketentuan ini memiliki ikatan yang
begitu erat, apalagi ketentuan murakkab, mufid dan wadha’ (dengan penafsiran
sengaja), karena tiga ketentuan ini akan terpenuhi dengan mufid.
Yakni, apabila kalam tersebut dapat memberi faidah, tentu
kalamnya tersusun dan diucapkan dengan unsur kesengajaan.
Berpijak pada persoalan ini, maka sangat sesuai definisi
kalam yang diungkapkan oleh Ibnu Malik dengan singkat dan padat di dalam kitab
Al-Fiyah-nya.
كلامنا لفظ مفيد كاستقم
Artinya: “kalam menurut ulama nahwu adalah lafaz yang
memberi faidah, contohnya استقم (istaqim)”.
Hal ini, tentu karena mengingat bahwa Al-Fiyah bukanlah
kitab yang direkomendasikan untuk dipelajari oleh pemula. Seorang pemula ketika
mempelajari sebuah disiplin ilmu, tentu belum mengetahui persoalan-persoalan
apa saja yang dikaji dan juga belum memahami istilah-istilah dalam ilmu
tersebut.
Jurumiyah sebagai kitab bagi pemula, tentu sudah
selayaknya dijelaskan dengan gamblang agar mudah dipahami.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
Referensi:
· Matan al-Ajurumiyah
· Mukhtashar Jiddan
· Kitab Al-Kawakib Al-Durriyah.
· Al-Fiyah
· Ubadah al-Aduwi
Posting Komentar