Memahami 7 Faidah Wazan Fiil
Memahami 7 Faidah Wazan Fiil |
Sebelumnya penulis telah menjelaskan tentang wazan tasrif
beserta contohnya, baik itu berbentuk tsulatsi maupun ruba’i (baca di sini).
Hal ini tentu belum mancukupi kebutuhan kita dalam
memahami tasrif, karena di setiap bab memiliki makna tersendiri yang sering
disebutkan dengan faidah bab.
Nah, oleh karena itu, di sini penulis akan memberikan
penjelasan kepada teman-teman semua untuk memahami apa saja faidah bab
tersebut.
Berpijak pada nash kitab matan Bina wa al-Asas, terdapat 7
faidah bab:
1. Muta’addi
2. Lazim
3. Taktsir
4. Musyarakah
5. Muthawa’ah
6. Mubalaghah
lazim
7. Takalluf
Mari kita lihat penjelasannya.
Muta’addi
Dalam kitab Matan Bina, muta’addi diartikan dengan
sesuatu yang melampaui kerja subjek kepada objek. Untuk lebih mudah
memahaminya, muta’addi bisa dikenal dengan fiil yang memerlukan maf’ul (objek).
Maksudnya, sebuah kata yang berbentuk jumlah fi’liyah
(terdiri dari fiil dan fail), jika menggunakan fiil muta’addi namun tidak ada
maf’ulnya maka kalam tersebut tidak berfaidah. Untuk lebih mudah memahami, ayo
kita perhatikan contohnya.
Contohnya nashara zaidun ‘amran (نصر زيد عمرا), artinya si Zaid telah menolong si Umar. Di sini, zaid
berposisi sebagai subjek dengan kata kerja menolong dan Umar sebagai objek.
Menolong adalah kata kerja yang dikategorikan muta’addi.
Yakni membutuhkan objek. Jadi apabila tidak ada objek, contohnya nashara
zaidun (نصر زيد),
tentu tidak berfaidah. Karena inilah, muta’addi diartikan dengan fiil yang
membutuhkan objek.
Lazim
Lazim kebalikan muta’addi. Yakni sesuatu yang tidak
melampaui kerja subjek kepada objek. Untuk lebih mudah memahaminya, sebagaimana
muta’addi bisa dikenal dengan fiil yang memerlukan maf’ul (objek). Sedangkan
lazim adalah fiil yang tidak memerlukan maf’ul.
Contohnya kharaja zaidun (خرج زيد) artinya si Zaid telah keluar. Di sini, zaid berposisi sebagai
subjek dengan kata kerja keluar. Keluar adalah kata kerja yang dikategorikan
lazim. Yakni tidak membutuhkan objek. Dia tetap berfaidah walaupun tidak ada
objek.
Taktsir
Untuk lebih mudah memahami, taktsir bisa diartikan dengan
memperbanyak, baik pada kata kerja, subjek maupun objek.
Contoh taktsir pada kata kerja adalah thawwafa zaidun
al-Ka’bah (طوّف زيد الكعبة)
artinya si Zaid telah banyak mengililingi ka’bah. Thawwafa adalah kata
kerja yang terkandung makna taktsir pada dirinya.
Dapat kita pahami dari contoh tersebut bahwa si Zaid
tidak sedikit mengelilingi ka’bah karena thawwafa mempunyai makna
taktsir pada dirinya.
Contoh taktsir pada subjek adalah mawwata al-Ibil
(موّت الإبل) artinya unta telah banyak yang
mati. Mawwata adalah kata kerja yang terkandung makna taktsir pada
subjek.
Dapat kita pahami dari contoh tersebut bahwa tidak
sedikit unta yang mati karena mawwata mempunyai makna taktsir pada
subjek.
Contoh taktsir pada objek adalah ghllaqa zaidun al-Bab
(غلّق زيد الباب) artinya si Zaid telah menutup
beberapa pintu. Ghallaqa adalah kata kerja yang terkandung makna taktsir
pada objek.
Dapat kita pahami dari contoh tersebut bahwa tidak
sedikit pintu yang ditutup karena Ghallaqa mempunyai makna taktsir pada
objek.
Musyarakah
Musyarakah adalah terjadinya perbuatan antara dua belah
pihak.
Contohnya qaatala zaidun amran (قاتل زيد عمرا) artinya si Zaid telah membunuh si Umar. Qaatala adalah
kata kerja yang terkandung makna musyarakah.
Maksudnya, membunuh bukan hanya dilakukan oleh si Zaid,
tetapi keduanya si Zaid dan si Umar sama-sama ingin membunuh. Walaupun akhirnya
yang dibunuh adalah si Umar. Hal ini karena terkandung makna musyarakah pada
kata kerja.
Muthawa’ah
Muthawa’ah diartikan dengan sesuatu yang hasil setelah
tejadinya fiil muta’addi.
Contohnya inkasara al-Zujaaj (انكسر الزجاج) artinya kaca telah pecah. Inkasara adalah kata kerja
yang terkandung makna muthawa’ah.
Artinya, sebelum terjadinya pecahan kaca, ada subjek yang
memecahkan sehingga kaca tersebut pecah. Dari sini bisa kita pahami bahwa
setiap fiil yang terkandung makna muthawa’ah, sebelumnya ada subjek yang
melakukan.
Mubalaghah Lazim
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa lazim adalah fiil yang
tidak memerlukan maf’ul. Lalu apa perbedaannya antara lazim dan mubalghah
lazim. Untuk mengetahui ini, mari kita perhatikan definisi dari pada mubalaghah
lazim.
Mubalaghah lazim adalah sesuatu yang lebih berat dari
pada lazim biasa. Mari kita lihat contoh.
Contohnya i’syawsyaba al-Ardhu (اعشوشب الأرض) artinya tanah telah tumbuh rumput. i’syawsyaba adalah
kata kerja yang terkandung makna mubalaghah lazim, sedangkan ‘Asyaba (عشب),
artinya juga tumbuh rumput, hanya terkandung makna lazim.
Dapat dipahami bahwa kejadian pada i’syawsyaba lebih
berat jika dibandingkan dengan ‘Asyaba. Maka rumput yang tumbuh dari
kata i’syawsyaba lebih banyak dari pada rumput yang tumbuh dari kata ‘Asyaba.
Takalluf
Takalluf adalah menghasilkan suatu tujuan secara
bertahap.
Contohnya ta’allamtu al-Ilma mas`alatan ba’da
mas`alatin (تعلمت العلم مسئلة بعد مسئلة)
artinya saya mempelajari ilmu dari satu masalah setelah menyelesaikan masalah
yang lain. Ta’allama adalah kata kerja yang terkandung makna takalluf.
Artinya, metode yang dijalankan dalam menuntut ilmu yaitu
secara bertahap-bertahap. Yakni, pelajaran atau masalah akan dilanjutkan
setelah menyelesaikan pelajaran sebelumnya. Hal ini terpahami karena ta’allama
terkandung makna takalluf.
Uraian di atas mengajarkan kepada kita bahwa belajar
membutuhkan waktu yang lama. Karena metodenya bertahap-tahap. Maka jangan
berputus asa ketika kita belum menguasai sebuah disiplin ilmu karena mungkin
itu membutuhkan waktu yang lebih lama lagi.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
Sumber: Matan Bina wa al-Asas
Posting Komentar