Mengenal Mabadi Ilmu Nahwu
Seorang pelajar, sebelum memulai pembahasan suatu disiplin ilmu, harus terlebih dahulu mengenal sepuluh aspek dasar dari ilmu yang akan mereka pelajari, dalam kitab klasik dikenal dengan istilah Mabadi al-Asyrah.
Salah satu
syarat terciptanya sebuah disiplin ilmu, dengan adanya Mabadi al-Asyrah
(sepuluh aspek dasar). Jika sebuah disiplin ilmu tidak memiliki sepuluh aspek
dasar ini, keberadaannya tidak diakui sebagai sebuah disiplin ilmu.
Sepuluh Aspek Dasar
Sepuluh aspek
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Definisi (al-Hadd)
2. Objek (al-Maudu’)
3. Manfaat dan Kegunaan
(al-Tsamrah)
4. Keutamaan (al-Fadhl)
5. Hubungan dengan
ilmu-ilmu yang lain (al-Nisbah)
6. Pencetus (al-Wadhi’)
7. Nama (al-Ism)
8. Sumber (al-Istimdad)
9. Hukum Mempelajari
(al-Hukm)
10. Persoalan yang Dipelajari
(al-Masa`il)
Sepuluh aspek
dasar ini sangat penting untuk diketahui sebagai pengantar dan pengenalan agar
terarah dan tidak salah tujuan.
Definisi (al-Hadd)
Definisi atau
ta’rif merupakan hal pertama yang harus diketahui untuk mengenal persoalan apa
saja yang akan dipelajari, juga akan memberikan gambaran kepada kita sejauh
mana manfaat yang akan kita dapatkan.
Adapun definisi
Ilmu Nahwu adalah ilmu dengan beberapa pembahasan pokok untuk dapat mengenal keadaan akhir kalimat, baik dalam
bentuk i’rab maupun bina`. Sebagaimana
Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Ahdal menjelaskan di dalam kitabnya, al-Kawakib
al-Durriyah, Cet. Haramain, h. 5.
واصطلاحا علم بأصول
يعرف بها أحوال أواخر الكلم إعرابا وبناء
Artinya: “Dan
pada istilah, Ilmu Nahwu merupakan ilmu dengan beberapa pembahasan pokok agar
dapat mengenal keadaan akhir kalimat, baik dalam
bentuk i’rab maupun bina`.
Dari definisi
yang dikemukakan di atas, kita dapat mengenal bahwa Ilmu Nahwu membahas
persoalan yang menyangkut dengan akhir kalimat dan dengan mempelajari Ilmu Nahwu tersebut dapat
mengetahui kebenaran pada akhir kalimat.
Objek (al-Maudhu’)
Objek yang
dipelajari dalam ilmu nahwu adalah keadaan kalimat bahasa arab.
Manfaat dan Kegunaan (al-Tsamrah)
Adapun manfaat
dan kegunaan ilmu nahwu adalah mengetahui kebenaran sebuah perkataan sehingga
lidah terpelihara dari kesalahan berbicara. Hal ini juga dijelaskan oleh
Al-Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Ahdal di dalam kitabnya, al-Kawakib
al-Durriyah, Cet. Haramain, h. 5.
وفائدة هذا
العلم معرفة صواب الكلام من خطئه ليحترزبه عن الخطأ فى اللسان
Artinya: “Dan
faidah ilmu ini adalah mengenal kebenaran kalam dari kesalahan supaya lidah
terpelihara dengannya
dari kesalahan”.
Dengan
mempelajari ilmu ini kita akan bisa mengutarakan sebuah ungkapan bahasa dengan
benar dan dapat teruji kebenarannya karena bahasa arab itu sangat sensitif. Kenapa
tidak, jika terjadi perubahan sedikit saja secara zahir, dapat terjadi
perubahan yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Hal ini akan
kita ketahui setelah mengenal dan memahami ilmu Nahwu. Nah, dengan mendalami ilmu
nahwu kita akan dididik untuk menjadi orang yang jauh dari kesalahan dalam
berbicara.
Keutamaan (al-Fadhl)
Keutamaan
mempelajari ilmu nahwu adalah membantu dalam memahami Al-Quran dan Hadis.
Sebagaimana yang telah dibicarakan sebelumnya bahwa ilmu nahwu dapat mengetahui
kesalahan berbicara. Ketika seseorang mengerti dan mampu mengungkapkan
perkataan dengan benar, ia juga mampu memahami ungkapan yang ia dengarkan.
Al-Quran
menggunakan bahasa arab dengan sastranya yang tinggi, membutuhkan berbagai disiplin
ilmu lainnya untuk memahaminya, salah satunya dengan ilmu nahwu. Dengan
memahami ilmu nahwu akan membantu untuk memahami Al-Quran, begitu juga dengan
hadisnya Nabi Muhammad SAW.
Hubungan dengan ilmu-ilmu yang lain (al-Nisbah)
Secara
konseptual, tentu ilmu nahwu berbeda dengan ilmu-ilmu yang lain. Namun jika
dilihat dari objek, tentu memiliki ikatan yang erat dengan ilmu-ilmu yang lain.
Pencetus (al-Wadhi’)
Ilmu Nahwu
pertama kali dicetus oleh Abu al-Aswad al-Du`ali melalui perintah dari Saidina
Ali bin Abi Thalib. Sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh al-Khudhari di dalam
kitabnya, Hasyiah ala ibn Aqil, h. 11
وواضعه
أبوالأسود الدؤلي بأمر الإمام علي كرم الله وجهه
Artinya: “Dan
pencetusnya adalah Abu al-Aswad al-Du`ali dengan perintah Imam Ali karramallu
wajhah”.
Nama (al-Ism)
Mengapa
dinamakan dengan ilmu Nahwu? karena kata “Nahwu” adalah ucapan Saidina Ali
ketika memerintahkan Abu al-Aswad untuk menyamakan beberapa hal lain ketika
beliau mengajarkan kaidah-kaidah nahwu.
Ceritanya gini,
sebelumnya Saidina Ali mengajarkan apa itu isim, apa itu fi’il, apa itu huruf,
kalimat yang dibaca rafa’, yang dibaca nashab dan kalimat yang dibaca jar.
Setelah itu, beliau memberitahu kepada Abu al-Aswad untuk membuat sebuah
disiplin ilmu yang membahas tentang itu dengan ungkapan:
انح هذا النحو
Artinya:
“samakan contoh ini wahai Abu al-Aswad”.
Ketika Abu
al-Aswad diperintahkan dengan menggunakan kata al-Nahwu, Abu al-Aswad
mengadopsi kata tersebut untuk mengambil keberkahan terhadap ucapan Saidina Ali
R.A. Hal ini dijelaskan juga oleh Al-Syeikh Muhammad bin Ahmad al-Ahdal di dalam
kitabnya, al-Kawakib al-Durriyah, Cet. Haramain, h. 6.
Sumber (al-Istimdad)
Dari mana ilmu
ini diambil. Sumber pengambilan ilmu ini adalah perkataan orang arab.
Hukum mempelajari (al-Hukm)
Sayid Alawi bin
Ahmad al-Makki di dalam kitabnya al-Fawaid al-Makiyah, Hal. 68, Cet. Dar
al-Dhiya` menjelaskan:
أما البدعة
اللغوية فمنقسمة إلى الأحكام الخمسة : واجبة على الكفاية كالإشتغال بالعلوم
العربية المتوقف عليها فهم الكتاب والسنة كالنحو والصرف والمعاني والبيان واللغة
بخلاف العروض والقوافي ونحوهما
Artinya: “Mode
linguistik, hukumnya terbagi 5 : pertama wajib kifayah yaitu menyibukkan diri
dengan berbagai macam ilmu yang diperlukan untuk memahami Al-Quran dan Hadis
seperti Ilmu Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan dan Lughah, hal ini berbeda dengan Ilmu
Arudh dan Qawafi juga semisalnya.
Dari keterangan
di atas dapat kita pahami bahwa mempelajari ilmu nahwu hukumnya adalah fardu
kifayah.
Persoalan yang Dipelajari (al-Masa`il)
Dalam
pembahasan nama, pada kisah Saidina Ali dan Abu al-Awad al-Du`ali, telah
menyinggung tentang apa persoalan yang dipelajari dalam ilmu nahwu ini. Yaitu
tentang kaidah-kaidah bahasa arab seperti Rafa’, Nashab, Khafad, Jazam dan
lain-lain.
Kitab yang Membahas Ilmu Nahwu
Setelah kita
mengetahui tentang aspek dasar Ilmu Nahwu. Apa saja kitab-kitab yang lebih
mudah untuk bisa kita pelajari dalam mengkaji Ilmu Nahwu. Sebagai santri hal
ini tidak asing lagi karena hampir di setiap lembaga pesantren tentu telah ada
kurikulum baku sesuai dengan jenjang pendidikannya.
Namun, di sini
penulis akan merekomendasikan juga kitab-kitab yang menurut penulis mudah untuk
dipelajari dalam memahami ilmu nahwu. Sebagaimana jejak yang telah penulis
jalani, di antaranya kitab matan al-Jurumiah, al-‘Imriti, Mutammimah, Kawakib
al-Durriyah, Alfiah beserta syarah-syarahnya.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
Referensi:
· Al-Kawakib al-Durriyah
· Hasyiah al-Khudhari
· Fawaid Makkiah
Posting Komentar