Kisah Rabiah al-Adawiyah (Hakikat Mahabbatullah)
“Alangkah sedihnya perasaan dimabuk cinta,
Hatinya menggelepar menahan dahaga rindu,
Cinta selalu digenggam apapun yang terjadi,
Ketika terputus, disambung seperti semula,
Lika-liku cinta, terkadang bertemu surga,
Menikmati pertemuan indah dan abadi,
Tapi tak jarang bertemu neraka,
Dalam pertarungan yang tiada berpantai.”
Syair
cinta dari seorang sufi wanita legendaris yang pertama kali memperkenalkan
ajaran mahabbah ilahi. Nama dan ajarannya sangat memberikan inspirasi bagi para
pecinta ilahi. Sejarah hidupnya banyak diungkapkan dan diceritakan berbagai
kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. Beliau adalah Rabi’ah
al-Adawiyah.
Rabiah
al-Adawiyah diperkirakan lahir pada tahun 713-717 M atau 95-99 H di Kota
Basrah. Beliau merupakan seorang ahli ibadah yang kerap bersedih karena menyadari
kekurangannya di hadapan Allah SWT. Ketika ia mendengar sesuatu tentang perihal
neraka, ia terjatuh tak sadarkan diri dalam beberapa waktu.
Rabiah
al-Adawiyah dapat dikategorikan sebagai khawashul khawash (super istimewa),
tingkat paling tinggi setelah tingkatan khawas dan awam. Seandainya
kebanyakan orang beristighfar dan meminta ampun kepada Allah karena dosa
dan kesalahannya, namun Rabiah al-Adawiyah beristighfar karena beranggapan ibadah
yang ia lakukan tidak sempurna.
Rabiah
al-Adawiyah selalu merasakan ibadah yang telah ia kerjakan penuh dengan kekurangan,
baik secara zhahir (formal) maupun batin (spiritual) karena ia menganggap
ibadahnya bercampur dengan niat-niat yang tidak tulus dan berbagai penyakit
batin yang dapat merusakkan ibadah.
Rabiah
al-Adawiyah bukan lah orang yang mudah menerima pemberian orang lain. Dengan
kezuhudannya, ia kerap menolak dan tidak menerima pemberian orang lain. “Aku
tidak berhajat pada dunia.” Itu lah ucapan yang sering keluar dari mulutnya
ketika ada orang yang memberikan sesuatu kepadanya.
Suatu
ketika, di saat Rabiah al-Adawiyah berjalan melewati seorang pemuda yang sedang
mengembala kambing. Ia berkata, “Saya ingin berangkat melaksanakan haji.”
Tiba-tiba laki-laki itu mengeluarkan segenggam emas dari sakunya, hendak
memberikannya kepada Rabiah al-Adawiyah.
Saat
itu juga Rabiah al-Adawiyah menjulurkan tangannya ke udara, tiba-tiba tangannya
penuh dengan emas. Rabiah al-Adawiyah pun berkata:
اَنْتَ تَأْخُذُ
مِنَ الْجَيْبِ وَ اَنَا أٰخِذُ مِنَ الْغَيْبِ
Artinya:
“Engkau mengambil dari sakumu sedangkan aku mengambil dari alam ghaib.”
Rabiah
al-Adawiyah juga sering terlibat dalam percakapan dengan Sofyan al-Tsauri.
Suatu
ketika, Rabiah al-Adawiyah mendengar pernyatakan Sofyan al-Tsauri tentang
kekhawatiran dan rasa prihatin terhadap dirinya, “Alangkah sedihnya.” Mendengar
pernyataan tersebut, Rabiah al-Adawiyah langsung menjawab dengan mengatakan, “Alangkah
kecil kesedihanku. Seandainya aku bersedih, maka tidak ada kehidupanku di
sana.”
Sofyan
al-Tsauri juga pernah berdoa di dekat Rabiah, “Ya Allah, berikanlah keridhaanmu
padaku.” Mendengar hal itu, Rabiah al-Adawiyah langsung menanggapinya dengan mengatakan,
“Apakah kau tidak malu kepada Allah dengan berdoa dan meminta keridhaanya.
Sedangkan kamu sendiri tidak ridha atas ketentuan yang telah ditakdirkannya.” Sofyan
al-Tsauri kemudian beristighfar.
Rabiah
al-Adawiyah juga pernah ditanya tentang kapan seorang hamba dikatakan ridha
atas takdir dan ketentuan Allah SWT. Rabiah al-Adawiyah menjawab dengan
mengatakan: “Merasakan bahagia ketika datangnya musibah sebagaimana
kebahagiaannya disaat datangnya nikmat.”
Seorang
Rabiah al-Adawiyah, ahli ibadah, zuhud, sufi dan sangat mencintai Allah dan
Rasulullah. Pernah suatu ketika, di tengah-tengah kerinduannya yang tak
terkendali, keluar lah kata-kata dalam munajatnya, “Apakah aku harus membakar
hati yang mencintaimu ini dengan api?”
Rabiah
al-Adawiyah wafat sekitar tahun 801 M atau 185 H. Ia wafat pada usia 83 tahun. Sebelum
wafat, Rabi’ah al-Adawiyah telah menyiapkan kain kafan jauh-jauh hari yang
kelak akan menjadi pembungkus jenazahnya, karena ia tidak ingin kain kafan itu
bersumber dari harta yang tidak jelas. Semasa hidup, ia telah meletakkan kain
kafan itu di depannya, tepat di tempat sujudnya.
Banyak
dari kalangan masyarakat merasa kehilangan Rabi’ah al-Adawiyah, seorang
perempuan yang selama hidupnya penuh dengan penderitaan, namun tak pernah
bergantung kepada manusia. Setiap orang sudah pasti akan mengenang sosok
Rabi’ah al-Adawiyah, sebagai seorang sufi yang telah melepaskan kerinduan,
berjumpa dengan Tuhannya.
Semoga bermanfaat...
Sumber:
Ihya`
Ulum al-Din
Risalah
al-Qusairiyyah
Al-Thabaqat
al-Kubra
Posting Komentar