Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Kisah Rabiah al-Adawiyah (Hakikat Mahabbatullah)

Daftar Isi

“Alangkah sedihnya perasaan dimabuk cinta,
Hatinya menggelepar menahan dahaga rindu,
Cinta selalu digenggam apapun yang terjadi,
Ketika terputus, disambung seperti semula,
Lika-liku cinta, terkadang bertemu surga,
Menikmati pertemuan indah dan abadi,
Tapi tak jarang bertemu neraka,
Dalam pertarungan yang tiada berpantai.

Syair cinta dari seorang sufi wanita legendaris yang pertama kali memperkenalkan ajaran mahabbah ilahi. Nama dan ajarannya sangat memberikan inspirasi bagi para pecinta ilahi. Sejarah hidupnya banyak diungkapkan dan diceritakan berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. Beliau adalah Rabi’ah al-Adawiyah.

Rabiah al-Adawiyah diperkirakan lahir pada tahun 713-717 M atau 95-99 H di Kota Basrah. Beliau merupakan seorang ahli ibadah yang kerap bersedih karena menyadari kekurangannya di hadapan Allah SWT. Ketika ia mendengar sesuatu tentang perihal neraka, ia terjatuh tak sadarkan diri dalam beberapa waktu.

Rabiah al-Adawiyah dapat dikategorikan sebagai khawashul khawash (super istimewa), tingkat paling tinggi setelah tingkatan khawas dan awam. Seandainya kebanyakan orang beristighfar dan meminta ampun kepada Allah karena dosa dan kesalahannya, namun Rabiah al-Adawiyah beristighfar karena beranggapan ibadah yang ia lakukan tidak sempurna.

Rabiah al-Adawiyah selalu merasakan ibadah yang telah ia kerjakan penuh dengan kekurangan, baik secara zhahir (formal) maupun batin (spiritual) karena ia menganggap ibadahnya bercampur dengan niat-niat yang tidak tulus dan berbagai penyakit batin yang dapat merusakkan ibadah.

Rabiah al-Adawiyah bukan lah orang yang mudah menerima pemberian orang lain. Dengan kezuhudannya, ia kerap menolak dan tidak menerima pemberian orang lain. “Aku tidak berhajat pada dunia.” Itu lah ucapan yang sering keluar dari mulutnya ketika ada orang yang memberikan sesuatu kepadanya.

Suatu ketika, di saat Rabiah al-Adawiyah berjalan melewati seorang pemuda yang sedang mengembala kambing. Ia berkata, “Saya ingin berangkat melaksanakan haji.” Tiba-tiba laki-laki itu mengeluarkan segenggam emas dari sakunya, hendak memberikannya kepada Rabiah al-Adawiyah.

Saat itu juga Rabiah al-Adawiyah menjulurkan tangannya ke udara, tiba-tiba tangannya penuh dengan emas. Rabiah al-Adawiyah pun berkata:

اَنْتَ تَأْخُذُ مِنَ الْجَيْبِ وَ اَنَا أٰخِذُ مِنَ الْغَيْبِ

Artinya: “Engkau mengambil dari sakumu sedangkan aku mengambil dari alam ghaib.”

Rabiah al-Adawiyah juga sering terlibat dalam percakapan dengan Sofyan al-Tsauri.

Suatu ketika, Rabiah al-Adawiyah mendengar pernyatakan Sofyan al-Tsauri tentang kekhawatiran dan rasa prihatin terhadap dirinya, “Alangkah sedihnya.” Mendengar pernyataan tersebut, Rabiah al-Adawiyah langsung menjawab dengan mengatakan, “Alangkah kecil kesedihanku. Seandainya aku bersedih, maka tidak ada kehidupanku di sana.”

Sofyan al-Tsauri juga pernah berdoa di dekat Rabiah, “Ya Allah, berikanlah keridhaanmu padaku.” Mendengar hal itu, Rabiah al-Adawiyah langsung menanggapinya dengan mengatakan, “Apakah kau tidak malu kepada Allah dengan berdoa dan meminta keridhaanya. Sedangkan kamu sendiri tidak ridha atas ketentuan yang telah ditakdirkannya.” Sofyan al-Tsauri kemudian beristighfar.

Rabiah al-Adawiyah juga pernah ditanya tentang kapan seorang hamba dikatakan ridha atas takdir dan ketentuan Allah SWT. Rabiah al-Adawiyah menjawab dengan mengatakan: “Merasakan bahagia ketika datangnya musibah sebagaimana kebahagiaannya disaat datangnya nikmat.”

Seorang Rabiah al-Adawiyah, ahli ibadah, zuhud, sufi dan sangat mencintai Allah dan Rasulullah. Pernah suatu ketika, di tengah-tengah kerinduannya yang tak terkendali, keluar lah kata-kata dalam munajatnya, “Apakah aku harus membakar hati yang mencintaimu ini dengan api?”

Rabiah al-Adawiyah wafat sekitar tahun 801 M atau 185 H. Ia wafat pada usia 83 tahun. Sebelum wafat, Rabi’ah al-Adawiyah telah menyiapkan kain kafan jauh-jauh hari yang kelak akan menjadi pembungkus jenazahnya, karena ia tidak ingin kain kafan itu bersumber dari harta yang tidak jelas. Semasa hidup, ia telah meletakkan kain kafan itu di depannya, tepat di tempat sujudnya.

Banyak dari kalangan masyarakat merasa kehilangan Rabi’ah al-Adawiyah, seorang perempuan yang selama hidupnya penuh dengan penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orang sudah pasti akan mengenang sosok Rabi’ah al-Adawiyah, sebagai seorang sufi yang telah melepaskan kerinduan, berjumpa dengan Tuhannya.

  

Semoga bermanfaat...

 

Sumber:

Ihya` Ulum al-Din

Risalah al-Qusairiyyah

Al-Thabaqat al-Kubra

 

Posting Komentar