Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Memahami 5 Rukun Pernikahan

Daftar Isi

Memahami 5 Rukun Pernikahan

Menikah adalah sebuah ikatan resmi antara dua individu yang biasanya melibatkan komitmen untuk saling mencintai, mendukung, dan berbagi kehidupan bersama.

Dalam Islam, pernikahan adalah moment yang sangat sakral, sehingga banyak sisi yang diperhatikan dalam penetapan hukumnya. Salah satunya adalah ketentuan rukun-rukun untuk keabsahan dan kebolehannya.

Nah... Di sini penulis akan menjelaskan sedikit tentang apa saja rukun-rukun pernikahan, begitu juga dengan ketentuannya..

Untuk mengetahuinya, simak penjelasan berikut.

Rukun Nikah

Syeikh Zainuddin al-Malibari menjelaskan bahwa rukun nikah ada 5 rukun, yaitu:

1. Calon Istri

2. Calon Suami

3. Wali

4. Dua Orang Saksi

5. Lafazh/Shighat

Berikut penjelasannya

Penjelasan

Calon Istri

Calon istri adalah seorang perempuan yang tidak terlibat dalam ikatan pernikan (bukan istri orang ya..!), dan juga tidak dalam masa iddah (tunggu aja selesai iddahnya dulu!).

Calon istri juga wajib ditentukan dalam akad, bukan mahram bagi calon suami, baik itu mahram nasab, susuan, ataupun disebabkan pernikahan. Baca: Siapa Saja Mahram Itu?

Calon Suami

Calon suami wajib ditentukan dalam akad, bukan mahram bagi calon istri, baik itu mahram nasab, susuan, ataupun disebabkan pernikahan.

Calon suami juga belum terikat dalam keberlangsungan pernikahan bersama 4 istri. Jika memiliki 3 istri, dibolehkan secara agama untuk menambahkan 1 istri.

Dalam artian, kewenangan memiliki pasangan antara perempuan dan laki-laki, berbeda. Laki-laki dibolehkan memiliki istri maksimal 4 orang sekaligus (bila meninggal 1 istri, dan sisa 3 istri yang masih hidup, dibolehkan menambahkannya 1 orang).

Tinggal si suaminya, berani apa nggak.. wkwkwk

Wali

Seorang wali disyaratkan memiliki sifat ‘adalah, mardeka dan mukallaf (baligh dan berakal). Wali yang fasiq tidak boleh menjadi wali akad nikah. Namun, jika ia telah bertaubat dengan sebenar-benarnya, maka saat itu ia dibolehkan menjadi wali nikah.

Seorang yang berhak menjadi wali nikah adalah ayah. Bila ayah tidak ada, maka kemudian kakek (ayah dari ayah). Jika tidak ada kakek, maka kemudian ayah dari kakek, hingga seterusnya. Ini dinamakan dengan wali mujbir.

Wali mujbir adalah wali yang memiliki hak untuk menikahkan putri atau cucunya tanpa izin, dengan ketentuan masih perawan, atau tidak perawan dengan tanpa watha`, dan juga kafa`ah (seimbang).

Bila wali mujbir tidak ada, maka kewenangan dilanjutkan kepada wali ab’adh, yaitu ‘ashabah nasab, kemudian ‘ashabah wila`.

‘Ashabah nasab dapat diurutkan sebagai berikut:

1.   Saudara sekandung

2.   Saudara seayah

3.   Anak dari saudara sekandung

4.   Anak dari saudara seayah

5.   Paman (saudara ayah) sekandung

6.   Paman (saudara ayah) seayah

7.   Anak dari paman (saudara ayah) sekandung

8.   Anak dari paman (saudara ayah) seayah

9.   Paman ayah (kakek dari saudara kakek sebelah ayah)

10. Anak dari paman ayah (kakek dari saudara kakek sebelah ayah)

Adapun ‘ashabah wila` dapat diurutkan dengan mendahulukan: Mu’tiq (orang yang memardekakan), kemudian ‘Ashabah dari Mu’tiq, kemudian Mu’tiq Mu’tiq, kemudian Ashbah dari Mu’tiq, hingga seterusnya.

Wali ab’adh (sesuai urutan), boleh menikahkan yang diwalikannya dengan ketentuan sudah baligh, izin bagi yang telah janda dengan watha`, diam bagi perawan (tidak ada sanggahan atau protes saat hendak dinikahkan) dengan tanpa pemaksaan.

Jika wali mujbir dan ab’adh tidak ada, maka kewenangan berpindah kepada hakim atau qadhi.

Dua Orang Saksi

Saksi yang disyaratkan dalam akad pernikahan sebanyak dua orang saksi, yang memiliki syarat kesaksian, yaitu: Sempurna mardeka (bukan hamba sahaya, dan juga bukan setengah hamba), Laki-laki (bukan perempuan, atau khuntsa), Adil (menjauhi segala dosa besar, dan tidak berkekalan dengan dosa kecil, serta dominan ketaatannya).

Apakah Sah Nikah Melalui Video Call

Di antara syarat-syarat yang lain yang diwajibkan bagi saksi nikah adalah beragama Islam, mukallaf (baligh dan berakal), bisa mendengar, berbicara, dan melihat. Hal ini mesti disaksikan secara langsung saat terjadi akad, dengan tanpa perantara dan pembatas.  

Maka orang yang melakukan akad nikah secara dalam gelap gulita, yang dapat menghalangi saksi untuk melihatnya, akad tersebut tidak sah, walaupun saksi mengetahui suara lisan dari orang yang sedang melakukan akad nikah.

Dari uraian ini dapat dipahami bahwa nikah melalui video call tidak dianggap sah, karena saksi tidak dapat melihat, mendengar secara langsung akad pernikahan yang sedang terjadi.  

Lafazh/Shighat

Shighat yang dimaksudkan adalah ijab dari wali perempuan, dan qabul dari calon suami (ijab qabul). Dan hal ini harus bersifat muttashil (tidak dihalangi oleh sesuatu yang lain yang asing) antara ijab dan qabul.

Shighat yang boleh digunakan hanya dua, yaitu: tazwij, dan inkah (musytaq dari keduanya).

Contohnya seperti zawwajtuka muwalliyati fulanah .... (زوجتك موليتي فلانة... الخ), atau ankahtuka muwalliyati fulanah.... (أنكحتك موليتي فلانة... الخ).

Juga bisa menggunakan bahasa lain (ajam) selain bahasa Arab. Seperti bahasa Indonesia, "Saya nikahkan anak saya (nama anak) kepada anda dengan mahar sekian dibayar tunaai."

Adapun qabul dari Calon suami, adalah dengan mengucapkan kata qabul (musytaq darinya), seperti qabiltu nikahaha bi al-Mahr al-Madzkur (قبلت نكاحها وتزويجها بالمهر المذكور).

Juga dapat menggunakan bahasa lain selain bahasa arab, seperti bahasa Indonesia, “Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar sekian dibayar tunaai.”

Bisa juga dengan hanya mengucapkan qabiltu (قبلت), saya terima (dalam bahasa Indonesia).

Keterangan

Akad pernikahan tidak sah bila dikaitkan dengan suatu kejadian. Contohnya seorang wali mengatakan kepada sorang pemuda: “Jika anak saya telah bercerai, dan selesai iddahnya, maka sungguh aku nikahkan dia kepadamu.” Kemudian pemuda tersebut menerimanya. Maka akad tersebut tidak sah, jika terjadi kenyataannya seperti demikan.

Akad pernikahan tidak sah bila keberlangsungannya ditentukan temponya, baik dengan masa tertentu yang diketahui kesudahannya, ataupun tidak diketahui ujungnya.

Adil pada saksi, dibolehkan bagi yang mastur ‘adalah, yaitu orang yang tidak diketahuikan fasiknya. Dan disunatkan memintanya untuk bertaubat, berdasarkan kehati-hatian (ihtiyath). Hal ini tidak berlaku pada keislaman dan mardekanya.

 

Wallahu A’lam bi al-Shawab...

Semoga bermanfaat...

 

Sumber: Fath al-Mu’in

Posting Komentar